Parenting: Pentingnya Sosok (calon) Ayah yang Baik
(Maaf, judul agak tidak
nyambung itu semata karena kesalahan penulis)
Kalau kamu mau
jadi dokter, itu gampang, ada kok sekolahnya. Mau jadi guru, insyinyur,
penyanyi? Gampang, ada kok sekolahnya. Ada satu hal yang tidak ada sekolahnya,
padahal semua orang pasti akan mengalaminya (ralat : semua orang normal). Yaitu
menjadi orang tua bagi anak-anak kita. Jadi ibu dan dan jadi ayah yang hebat
itu tidak ada sekolahnya.
Aku memang
tidak terlalu paham bagaimana rasanya, tapi dari pengamatan dan crita banyak
orang di sekitarku, memang tak mudah menjadi orang tua. Ya memang karena tidak
ada sekolahnya. Padahal keluarga dan orang tua lah madrasah pertama bagi
anak-anak mereka. Allah menciptkan bayi atau manusia dalam keadaan fitrah dan
suci serta cenderung pada kebaikan. Yang menyebabkan seorang anak itu cenderung
berperilaku buruk adalah orang tuanya sendiri.
Setelah
sharing sama seorang ibu rumah tangga yang telah mengikuti seminar parenting,
sebut saja dia mbak Amrih, dengan baik hati beliau mau membagi sedikit ilmunya
kepada seorang calon ibu, yaitu aku sendiri ( halah), langsung saja aku ingin
mencatatnya, takut lupa. Ada beberapa poin penting :
1.
Pentingnya
Peran Ayah dalam Keluarga
Sering kita
mendengar bahwa ibu adalah madrasah pertama dan bla bla bla. Jadi, seolah peran
ibu dalam mendidik anak lebih besar dari pada peran ayah. Dan ternyata anggapan
itu kurang tepat, karena sebenarnya peran seorang ayah dalam mendidik anak
adalah sangat sangat penting. Sama
besarnya dengan peran ibu. Dalam Al quran pun dikisahkan tentang sosok sosok
luar biasa seperti Luqman dan Ali Imron, sosok sosok ayah, dimana didalam
kisahnya kita bisa dapatkan pelajaran dalam mendidik anak. Ternyata, peran ayah
adalah mengaktifasi pendidikan anak. Sedangkan sosok ibu adalah
pendukungnya. Salah satu contoh, adalah
hafidz cilik Musa yang beberapa waktu lalu sempat jadi perbincangan di
Indonesia bahkan dunia, ternyata yang menjadikan seperti itu adalah kedisiplinan
sang ayah dalam mengajarkan Musa untuk menghafal Alquran. Jadi, ketika ada
seminar parenting kebanyakan yang datang adalah para ibu, padahal sangat sangat
penting sekali sosok ayah juga ikut. Karena peran ayah sangat besar dalam
mendidik anak.
2.
Hati-hati,
kita yang menghancurkan sifat baik anak
Jadi, seperti
yang aku katakan sebelumnya bahwa seorang anak lahir dalam keadaan fitrah dan
cenderung pada kebaikan. Misal sifat baik yang sudah ada dalam diri anak adalah
disiplin, jujur dan kreatif (tadi dicontohin dua aja ama mbak Amrih, sebenarnya
sih banyak). Sifat itu sudah ada sejak anak lahir, tapi seringnya orang tua
yang menghancurkan sifat-sifat tersebut.
Contoh kasus
sifat disiplin.
Jadi, sebenarnya
setiap bayi itu kalau pagi pasti sudah bangun, jam 4 atau subuh gitu. Nah,
seringnya, orang tua kadang masih ngantuk atau mau ngapa-ngapain gitu kan, jadi
mereka merasa susah jika pagi sekali anak bayi mereka sudah terbangun, jadi
ketika anak bayi bangun mereka berusaha untuk menidurkan mereka kembali. Di puk
puk, di nina bobo kana tau diminumin susu sampai mereka tertidur lagi. Nah Itu
sikap yang salah. Karena akan membiasakan mereka bangun siang, dan merusak
kedisiplinan sang anak sejak bayi.
Terus yang benar
gimana?
Yang benar
adalah, kita tetap membiarkan tetap terbangun, kalau kita mau ngapa-ngapain dan
takut meninggalkan anak, ya kita bawa sang anak di dekat tempat kita melakukan
aktifitas. Jangan ditidurkan kembali, biarkan anak terbiasa bangun pagi sesuai
fitrahnya.
Contoh kasus
sifat jujur yang dihancurkan sendiri oleh orang tua.
Seringnya,
ketika anak melakukan jujur melakukan suatu kesalahan, orang tua akan marah
terhadap sang anak, sehingga membuat sang anak takut berkata jujur ketika dia
melakukan kesalahan. Akibatnya, karena takut dimarahi sama orang tua, dia
memilih untuk tidak jujur dan menyembunyikan kesalahannya. Jika hal ini
dibiarkan, maka sang anak juga akan takut menceritakan apapun yang terjadi pada
dirinya, kelak dia akan jauh dari keluarga dan menjadi anak yang tertutup.
Kalau seorang anak tidak ada ikatan kuat di lingkungan keluarganya, maka dia
akan siap dipengaruhi oleh lingkungan.
Contoh kasus
sifat kreatif yang dihancurkan oleh orang tua.
Seringnya,
ketika seorang anak melakukan sesuatu yang baru terutama yang menurut orang tua
membahayakan, seringnya orang tua akan melarang anak itu melakukannya mungkin
karena saking khawatirnya anak itu kenapa-kenapa. Contoh, missal seorang anak
usia dua tahun mainan air kran, nah seringnya orang tua kan melarang karena
takut sakit. Nah, itu yang tidak boleh, karena secara tidak langsung hal itu
adalah proses menghancurkan kreatifitas sang anak. Contoh lagi, seorang anak
yang baru belajar jalan, dia melihat tangga dan dia menaiki tangga, karena
khawatir jatuh, sang ibu melarang anak untuk mainan di tangga. Nah itu juga menghancurkan
kreatifitasnya.
Terus harusnya
gimana? Harusnya dibiarin aja, yang dibatasi adalah waktunya. Misal, ditekankan
ke anak, boleh mainan kran tapi lima menit aja ya, atau berapa menit aja, harus
ada SOP nya. Dan ketika seorang anak mau coba-coba naik tangga, biarin aja dia
naik sampai atas atau sampai manapun dia bisa. Peran orang tua adalah
menjaganya aja, atau ditekankan sama anak, SOPnya, boleh main tangga lima menit
aja atau berapa menit, yang penting ada SOP yang ditekankan ke anak.
3.
Ayah
dan Ibu harus Kompak
Ada sebuah
kasus, seorang anak merengek minta sesuatu. Namun sebenarnya anak itu tidak
boleh mendapatkan sesuatu itu. Misal, seorang anak minta es krim, dan orang
tuanya tidak membolehkan. Lalu dia merengek rengek, sampai ngamuk. Nah, seorang
ibu biasanya karena gak mau dan gak tega liat anaknya nangis, akhirnya dia
mengalah dan memberikan apa yang diinginkan anak itu. Sebenarnya itu sikap yang
salah.
Ketika
diputuskan anak tidak boleh melakukan sesuatu atau mendapatkan sesuatu, ya harus
konsisten dan cukup tega untuk benar-benar tidak memberikannya. Ayah dan Ibu
harus kompak, ketika ayah bilang gak boleh ibu juga harus bilang gak boleh.
Misal anak tadi ya, dia berhasil mendapatkan es krim karena dia merengek,
padahal sebenarnya sebelumnya orang tuanya melarang, jadi dia bisa akan
melakukan hal yang sama di lain kesempatan bahkan dengan lebih ekstrim lagi.
Misal, kemarin dia minta es krim, lalu dia minta sepeda. Orang tuanya tidak
boleh, nah sang anak tau nih, kemarin dia merengek lalu dia mendapatkan es
krim, maka dia akan berpikir dia akan mendapatkan sepeda dengan melakukan hal
yang sama, yaitu merengek juga. Ketika merengek tidak berhasil, maka dia akan
tambah dengan merengek sambil guling-guling, sampai dia mendapatkan apa yang
diinginkan. Nah, itu karena kita kurang tegas sama anak.
Yang benar adalah
jangan langsung meng iyakan permintaan anak, buat anak mendapatkan apa yang dia
inginkan tapi sebagai reward karena dia melakukan sesuatu yang baik. Misal, iya
boleh nanti dibelikan es krim kalau rangking 1 (misalnya), jadi bukan
memberikan apa yang diinginkan anak karena ancaman dari sang anak yang pada
akhirnya mengikis ketegasan orang tua.
Nah, begitulah
hasil ilmu yang aku serap dari Mbak Amrih. Penting sekali bagi calon orang tua
untuk mempersiapkan bekal menjadi orang tua dengan ilmu yang memadahi. Karena,
ya itu menjadi orang itu susah, tapi gak ada sekolahnya. Maka, kita, khususnya
aku juga, harus lebih banyak belajar menjadi orang tua, dengan banyak membaca
buku parenting, mengikuti seminar, dan sharing dengan banyak orang. Jadi,
menciptakan generasi yang baik itu dimulai dengan mencari partner hidup yang
baik terutama yang mau belajar parenting #eh (ups).
By @ayufialfarisi
Ambarawa,
June 29th 2015, 23 : 42
Komentar
Posting Komentar
I will be happy reading your comment and response. Tell me what you think please :D