Catatan Hati Seorang (Calon) Guru - I
Note : Satu
Setiap insan di dunia ini pasti mengalami
perubahan. Sedikit banyak pasti berubah. Waktu berlalu begitu cepat. Kurang
lebih empat tahun yang lalu, aku diantarkan ke kos. Ayah, ibu, Dimas, mbah
Putri, Paman mengantarkanku waktu itu. Kalau dipikir lagi, sebenarnya sedikit
berlebihan, apalagi rumahku tak begitu jauh dari rantauan. Tapi kemudian aku
menyadari, bahwa itu adalah wujud rasa bahagia dan rasa kasih mereka
terhadapku. Tak main-main, bersamaan dengan itu, tentu mereka memiliki harapan
besar terhadapku, kelak akan menjadi orang yang berguna dan bisa memuliakan
keluarga. Apalagi, dari sejarah keluarga ayah dan ibu, tak ada yang berhasil
menuntut ilmu di perguruan tinggi sampai tuntas, dan menjadi sarjana.
Kini hampir empat tahun berlalu. Mudah-mudahan
tidak terlalu mengecewakan ayah dan ibu bahwa aku sampai detik ini, masih
mengerjakan tugas akhir. Meski, ayah dan ibuku hanya mengerti bahwa putrinya
masih harus ‘berurusan’ di kampus, namun tentu saja mereka berharap bahwa
putrinya lulus tepat pada waktunya. Andaikan, tidak pun, tak masalah bagi
mereka, karena sejatinya mereka tak begitu mengerti bahwa ternyata anaknya
memang belum bisa memenuhi target mereka lulus tepat waktu. Maaf…
Sempat muncul kegalauanku karena itu, bukan karena
aku belum lulus, tapi tentang membuat bangga orang tua. Sudah hampir empat
tahun, tapi masih saja menyusahkan orang tua. Ditambah lagi, kelak Oktober
nanti (Insyaallah), mungkin belum bisa mendudukkan orang tua di deretan terdepan
saat wisuda. Padahal itu hal yang bisa aku pikirkan untuk membuat ayah ibu
sedikit bangga kepadaku. Sembari menuliskan bait demi bait tugas akhir, dan
berjuang dan terus berjuang untuk menyelesaikan tugas akhir, aku memikirkan hal
itu.
Dan kini, rencana Allah itu memang lebih indah.
Allah Maha Paham, Allah Maha Mengetahui apa yang disembunyikan di dalam hati.
Keresahanku terjawab. Suatu ketika datang tawaran untuk mengajar. Mengajar di
sebuah sekolah islam terpadu. Begitu dapat tawaran itu, aku langsung mengambil
kesempatan itu. Aku mengikuti seleksi mengajar disana. Jujur, ini pure
coba-coba, seperti iseng-iseng berhadiah. Ketika aku komunikasikan ke ibu
tentang seleksi ini, beliau begitu senang. Kata ibuku, dulu aku bercita-cita
menjadi guru, dan beliau bilang, bahwa beliau bahagia karena cita-citaku
terwujud.
Tapi, ibuku, belum mengupdate cita-cita putrinya.
Cita-cita masa kecil sering sekali berubah bukan? Dan ibuku tidak tahu bahwa
cita-cita putrinya telah berubah. Apalagi sejak memantapkan hati untuk
mencintai sastra. Maka, dulu ditanya di semester awal oleh pak Ikhwan, “kenapa
kalian memilih jurusan sastra?”, maka waktu itu aku menjawab “karena aku tak
ingin menjadi guru”.
Cita-citaku, ingin menjadi penulis, ingin keliling dunia, ingin menjadi jurnalis, dan merasakan hal hal baru di pedalaman atau sesuatu yang lain yang menantang. Ya, menjadi guru adalah rencana kedua setelah cita-citaku yang utama itu terwujud. Karena aku bercita-cita untuk membangun sekolah gratis, dimana aku bisa mengajarkan banyak hal disana. Meski, di pojok hati kecilku, suka mengajar. Mengajar adalah suatu kewajiban bagi semua orang yang berilmu, tapi bukan benar-benar dijadikan sebuah profesi tapi passion. Itu bayanganku dahulu.
Cita-citaku, ingin menjadi penulis, ingin keliling dunia, ingin menjadi jurnalis, dan merasakan hal hal baru di pedalaman atau sesuatu yang lain yang menantang. Ya, menjadi guru adalah rencana kedua setelah cita-citaku yang utama itu terwujud. Karena aku bercita-cita untuk membangun sekolah gratis, dimana aku bisa mengajarkan banyak hal disana. Meski, di pojok hati kecilku, suka mengajar. Mengajar adalah suatu kewajiban bagi semua orang yang berilmu, tapi bukan benar-benar dijadikan sebuah profesi tapi passion. Itu bayanganku dahulu.
Tapi, sehingga pada akhirnya aku melanjutkan proses
seleksi menjadi pengajar di sekolah itu. Sekolah Itu membutuhkan seorang guru
tetap, guru tetap artinya yang harus datang ke sekolah setiap hari, dari pagi
pukul 7 sampai pukul 2 siang. Jika masih harus mengurusi ekstra atau hal-hal
yang berbau sekolah lain, harus rela berada di sekolah lebih lama dari jam yang
seharusnya.
Ketika wawancara ditanya perihal tersebut,
sebenarnya ada rasa goyah dan ingin mundur saja. Aku merasa, aku belum siap
terikat. Aku masih ingin main-main, aku masih ingin melakukan banyak hal, aku
masih ingin naik gunung. Jika, aku terima tawaran itu, maka kesempatanku
untuk naik gunung dan lain hal itu, tentu saja akan semakin kecil bahkan
hilang. Tapi, kemudian aku memikirkan ayah ibuku, mereka pasti akan gembira
kalau aku nantinya menjadi seorang guru. Jadi, aku lanjutkan saja seleksinya,
dan aku mengatakan bahwa aku bersedia dan tidak keberatan untuk menjadi guru
tetap. Dan waktu itu aku berpikiran, bahwa andaipun aku tidak diterima, itu
artinya aku masih diberi kesempatan oleh Allah untuk melakukan apa yang aku
inginkan, dan fokus mengerjakan skripsi. Akan tetapi, jika diterima maka hal
itu akan membuat ayah ibuku senang, karena putrinya menjadi seorang guru,
profesi yang sangat mulia.
Dan pada akhirnya, Allah memberiku tempat untuk
mengakselerasi diriku lebih cepat. Yaitu dengan menjadi seorang pengajar di
sebuah sekolah islam terpadu. Dimana disekolah itu akan membuatku menjadi
pribadi yang lebih baik. Aku harus memperbanyak hafalan suratku, aku harus
meningkatkan kualitas bacaan Al Quranku, aku harus belajar agama lebih dalam
lagi, aku harus belajar bagaimana berinteraksi dengan anak, aku harus belajar
berinteraksi dengan orang tua dan masyarakat, dan banyak hal lagi yang harus
kupelajari. Dan InsyaAllah akan menjadikanku lebih baik. Mungkin, tak seberapa
yang kudapat untuk urusan dunia, atau gaji. Maklum, guru di sekolah swasta yang
sedang berkembang, mungkin gajinya akan lebih kecil dari gaji seorang buruh
pabrik. Tapi, akan lebih banyak mendapat investasi akhirat. Tabungan akhirat
insyaAllah yang menjadi sasaran.
Sehingga, kumantapkan hatiku untuk mengajar…
Ambarawa, 12 Juli 2014
22:25
Komentar
Posting Komentar
I will be happy reading your comment and response. Tell me what you think please :D