Laras part 1
Hidup
ini penuh misteri. Hitam, gelap dan susah ditebak. Begitu juga dengan nasib
seseorang. Siapa yang nyangka hari ini kita akan mendapat segepok emas, atau
terkena bom di gedung terbaik yang mungkin saja merupakan harta paling berharga
milik kita. Kita tak akan tau berapa lama kita bisa hidup menikmati dunia yang
indah tetapi penuh dengan marabahaya. Atau siapa sangka, wanita yang sudah
divonis mati beberapa hari lagi karena penyakit kanker payudaranya akan hidup
lebih lama seperti orang normal. Sampai di ujung usia kita nanti. Kita hanya
bisa mencari bekal untuk hidup lebih lama kelak. Tak ada gunanya kekayaan dunia
yang menyilaukan mata itu, ternyata akan membutakan mata hatimu.
Malam
ini. Sengaja gadis belia berumur tujuh belas tahun itu, menutup warung
remang-remangnya lebih awal. Neneknya sakit. Sakit entah apa penyebabnya. Ada
yang bilang, neneknya sakit karena memang sudah tua, tapi ada juga yang bilang
nenek ini sakit karena guna-guna. Entahlah, sakitnya sungguh aneh. Beberapa
hari ini, neneknya selalu muntah darah setiap kali selesai makan. Akibatnya,
badannya yang sudah tua pun, semakin renta dan lemas. Tak ada dokter yang
memastikan apa penyakit yang diderita sang nenek.
Namanya
Laras. Parasnya cantik sekali. Rambutnya hitam legam. Wajahnya bulat telur. Hidungnya
tidak mancung, juga tidak pesek. Sedang. Bibirnya, alisnya, matanya, semuanya
tidak ada yang berlebihan atau pun kurang. Semuanya pas. Cantik. Kulitnya tidak
putih, tapi kuning langsat, khas kulit orang Indonesia. Cantik asli orang
Indonesia. Hmm, sempurna. Cantik sekali. Tak salah jika banyak lelaki yang
menginginkan Laras menjadi istrinya.
Istri?
Bukankah Laras masih kecil? Masih tujuh belas tahun bukankah masih terlalu
kecil untuk menikah? Seharusnya usia-usia Laras masih senang-senangnya bergaul
dengan teman sebayanya di sekolah. Yah, tetapi tidak. Laras memang berbeda.
Selepas SMP dia memutuskan untuk tidak melanjutkan ke jenjang SMA. Alasan
klasik, tidak ada biaya. Laras hidup sebatang kara bersama neneknya sejak
setahun yang lalu. Ibunya, masuk rumah sakit jiwa. Gila karena melihat suaminya
terbunuh ditangannya sendiri. Oleh karena itu, sang neneklah yang merawatnya. Selepas
tamat SMP, Laras membantu neneknya menjaga warung milik neneknya. Warung yang
menjadi satu-satunya sumber penghasilan. Laras yang sebatang kara dan berparas
cantik, menjadi magnet bagi laki-laki yang melihatnya. Banyak pula yang berniat
mempersuntingnya. Namun, tentu saja
Laras tidak mau. Dia masih terlalu muda. Lagi pula, laki-laki yang datang
melamarnya rata-rata sudah beristri atau seorang duda kaya yang hanya ingin
memanfaatkan kecantikannya saja. Terkadang hal itu membuat Laras muak dengan
laki-laki berhidung belang, berbulu domba tapi aslinya srigala yang sangat
ganas.
Laras
masih sibuk beres-beres di warung remang-remang milik neneknya. Matanya sendu,
membuat orang yang melihatnya merasa iba. Baru pukul delapan malam. Masih
sangat awal untuk menutup warung. Sebentar lagi pasti akan ramai pengunjung,
terutama supir-supir truk pengangkut barang yang biasa singgah di warung itu
pasti sebentar lagi akan datang. Namun, mau bagaimana lagi, neneknya sedang
sakit. Biarlah, dia tutup lebih awal.
Di
warung masih ada beberapa tamu yang sedang asyik bergurau sambil menikmati kopi
dan pisang goreng. Laras mengelap gelas yang baru saja di cucinya, kemudian
memasukkannya ke dalam lemari barang. Sesekali dia melirik tamu-tamunya yang
masih asyik bercanda di luar. “Bagaimana saya menyuruh mereka pergi?” ragu-ragu
dia ingin mendekati. Tapi, tampang tamu-tamu itu seperti preman. Ah, Laras
membuang pikiran buruknya. Bukankah sudah hampir tiap malam dia melayani tamu
yang seperti itu. Tapi, tamu-tamu itu sepertinya baru pertama kali mampir di
warung itu. Biasanya ada nenek yang mendampingi Laras, sehingga tak ada yang berani
mengganggu Laras. Paling cuma menggoda. Wajarlah, siapa pula yang tidak
tertarik dengan wajah ayu Laras. Entahlah, nenek memiliki aura yang membuat
siapapun segan dan menghormatinya. Namun, malam ini, terpaksa dia menjaga
warung sendirian.
Beberapa
menit kemudian, Laras masih tidak berani menegur tamu-tamunya. Sesekali
tamu-tamu itu melihat Laras sambil tertawa terbahak-bahak. Membuat Laras tidak
nyaman. Beberapa kali juga mereka bersitatap. Namun, cepat-cepat Laras
mengalihkan pandangan.
Resah,
Laras harus segera pulang. Neneknya pasti sudah menunggunya. Maka, dia
beranikan untuk mendekati tamu-tamu itu. Dan akhirnya, dengan langkah perlahan
tapi pasti Laras mendekati meja tamu.
“Maaf
Bapak-bapak sekalian, warung ini mau tutup.” Kata Laras sedikit bergetar. Dia berusaha
sekuat tenaga agar terlihat tidak ketakutan. Laras tidak berani menatap
tamu-tamu itu. Dia berbicara sambil menunduk.
Tamu-tamu
itu menoleh ke arah Laras. Tatapannya tajam. Cukup menakutkan bagi Laras.
Sehingga dia pun mulai gelisah. Dia tau saat ini pasti tamu-tamu itu sedang
melihatnya.
“Kenapa
cepat sekali tutup? Ini masih sore. Hahaha” kata seorang diantara mereka.
“Nenek
saya sakit Tuan. Saya harus segera merawat beliau.” Jawab Laras.
“Sakit
apa? Mau kita bantu bawa ke dokter?” kata seorang yang lain.
“Atau
sekalian saja kita bantu gali kuburannya. Hahaha.” Timpal salah satu yang lain.
Laras
shock mendengarnya. Kaget bukan kepalang. Rasanya tidak sopan sekali tamu itu
berkata demikian. Laras mulai tidak karuan. Takut. Wajahnya mengeras.
Salah
seorang pria yang terlihat paling tidak menyeramkan, berdiri dari tempat iya
duduknya. Berdiri dan berjalan mendekat ke arah. Laras tau pria itu akan
mendekatinya. Laras mundur selangkah, benar-benar takut. Jangan-jangan… pikiran
buruk mulai melintas di kepalanya. Segera dia buang. Semua pasti baik-baik saja. Jika pria itu macam-macam, dia ingat beberapa
pelajaran silat yang sempat dia perlajari waktu SMP. Yah, mudah saja. Dia
menenangkan pikirannya. Sekaran pria itu sudah berada disampingnya. Melihat
Laras dari atas sampai bawah. Beberapa kali pria itu melihatnya seperti itu.
Laras jadi risih. Namun, entahlah, dia tidak bisa bergerak. Takut-takut
memandang pria itu. Hmm, namun akhirnya dia berhasil melihat sekilas wajah dari
pria itu. Pria kira-kira berumur lima puluh tahunan, dengan rambut ikal yang
acak-acakan. Ada sedikit rambut yang tumbuh di janggut.
Laras
masih takut-takut untuk melihat. Pria itu menyentuh bahu Laras. Semakin takut
saja Laras. Kemudian dia memandang wajah pria itu. Pria itu tersenyum. Senyum
hangat. Senyum kebapakan dan sangat tidak menakutkan.
“Namamu
Laras Nak?” Tanya pria itu.
Kali
ini rasa takut Laras mulai sedikit demi sedikit hilang, namun dia terkejut pria
itu mengenalnya. Apakah saya seterkenal
itukah? Batin Laras.
“Dari
mana bapak tau?” Tanyanya heran.
*bersambung
Komentar
Posting Komentar
I will be happy reading your comment and response. Tell me what you think please :D