Corat coretku (sebuah cerita)

AKU TAK MEMPAN RAYUAN GOMBALMU
Aku tak mengerti kenapa aku terus saja terjebak  dalam kisah ini. Kisah yang tak tau dimana rimbanya. Sulit jadi  diriku, sulit berada di posisiku. Aku bukan tipe orang yang mudah menyerah dan luluh oleh kata-kata lembut. Bagiku itu semua omong kosong. Bohong dan gombal. Karena aku sendiri tidak percaya bahwa memang seindah seperti yang mereka katakan. Aku lebih percaya realita atau kenyataan yang ada dalam diriku. Aku bisa menerima jika aku memang tak sempurna. Dan aku tak percaya dengan pujian dan segala rayuan. Bagiku mereka yang mencoba mengatakan hal baik tentang diriku, aku menganggap mereka semua coba untuk menghiburku. Terkadang aku malah tersinggung dengan perkataan mereka yang manis dan penuh pujian, karena mereka semua bohong. Aku tak mungkin seindah itu. Aku lebih suka orang mengatakan aku jelek, dari pada orang yang mengatakan kalau aku cantik. Karena bagiku mereka yang mengatakan aku jelek adalah orang yang berkata benar dan jujur, aku lebih suka seperti itu.
            Aku menyadari bahwa aku tidak sempurna.Dibandingkan dengan cewek lain aku jauh dari rata-rata tinggi badan. Tinggiku hanya sekitar 145 an cm. Aku bermasalah dengan celana atau rok panjang, jika aku ingin membeli rok atau celana panjang, aku harus mengecilkannya. Semua ukuran baju bagus pun hanya untuk cewek-cewek yang tinggi semampai dan langsing. Sedangkan aku, berat badanku pun melebihi batas ideal dengan tinggi badan yang seadanya. Jadi seharusnya jika menggunakan rumus mengukur berat badan ideal aku kelebihan berat badan 5 kg. Ditambah lagi, kulitku yang coklat dan hidung yang pesek membuat ketidaksempurnaanku semakin sempurna. Jauh sekali dari kriteria cewek ideal. Hanya satu yang aku sukai dari wajahku adalah bulu mataku yang lentik. Aku suka memainkan bulu mataku yang panjang dan lentik.
            Beberapa temanku memujiku karena bulu mataku yang lentik. Jika memuji bulu mataku, aku tidak tersinggung, karena aku sependapat. Namun bulu mata yang bagus saja tak dapat menolongku untuk masuk kriteria cewek cantik dan menarik. Tetapi, aku menerima semua itu. Dan aku menyadari jika aku jelek dan tak menarik. Meskipun terkadang aku iri dengan mereka semua yang sangat perfect sebagai wanita, namun sekali lagi, aku bisa menerima aku apa adanya. Hal itu membuatku tidak percaya dengan segala pujian. Dan karena alasan itu juga aku sangat sulit diluluhkan oleh kata-kata manis dan indah. Sekali lagi karena aku tidak percaya aku seindah itu.
***
Minggu pagi di alun-alun kota memang selalu ramai. Mereka memanfaatkan hari libur mereka untuk berolah raga di alun-alan. Jogging atau sekadar jalan-jalan saja. Kebanyakan remaja dan abg nongkrong di alun-alun pada Minggu pagi. Mungkin ada yang berniat untuk berolah raga, namun sebagian besar hanya untuk cuci mata dan tebar pesona. Ada juga yang memanfaatkan kesempatan hari Minggu ini untuk ketemuan atau untuk mencari pacar. Ada-ada saja mereka.
Sedangkan aku. Aku adalah satu dari sedikit orang yang benar-benar berniat untuk olah raga. Karena hanya di hari Minggu aku memiliki waktu luang. Lagi pula, adikku yang masih SMP, selalu mengajakku ke sini setiap Minggu. Ibu memintaku untuk mengawasi adikku. Adikku sudah sekarang sudah mulai dewasa, usianya sudah 15 tahun, abg baru. Dan aku yakin, dia hanya ingin tebar pesona saja di alun-alun. Lihat saja pakaiannya sekarang. Benar-benar centil.
“Chik, kamu mau olah raga apa mau shopping sih?” Aku heran dengan adikku sendiri. Kostumnya lebih seperti kostum ingin ke mall. Dan lihat saja, topinya seperti ingin ke pantai saja.
“Idih kakak. Ini gaul namanya. Meskipun mau olah raga harus tetep cantik dong.”Jawab adikku nggak mau kalah. Memang sih adikku jauh lebih cantik dariku, tapi dia sangat berlebihan. Terlalu centil. Jika aku jadi cowok, aku akan illfeel sama dia.
“ Kamu tu jangan malu-maluin kakak dong.Buruan ganti baju. Centil banget. Kamu tu salah kostum. Kalau nggak mau ganti kostum dengan yang biasa saja. Kakak nggak mau nemenin ke alun-alun.”
“Huh! Kakak tuh gaul dikit napa? Iya iya aku ganti baju dulu.” Adikku kesal karena aku menyuruhnya untuk ganti kostum. Dan ancamanku memang manjur. Jika aku tak mau menemani adikku ke alun-alun, pasti dia tak akan diijinkan ke alaun-alun sendirian tanpaku. Jadi, dia mau tidak mau harus nurut denganku jika tetap ingin ke alun-alun. Ah. Tapi aku jadi curiga, kenapa adikku ngotot sekali ingin pergi ke alun-alun pagi ini. Apalagi kostumnya yang sangat berlebihan. Biasanya juga tak seganjen itu. Hmm...aku jadi berpikir. Ya. Aku lihat saja nanti, apa yang akan di lakukannya.
***
 But hold your breath
because tonight will be the night that I will fall for you,
over again, Don’t make me chance my mind
Or i won’t live to see another day
I swear It’s true
Because a girl like you is impossible to find

Hmm...aku sangat suka lagu itu. Terkadang aku berkhayal, akan ada seseorang yang menyanyikan itu padaku. Ah, tapi aku buru-buru membuang pikiran konyol itu. Aku mendengarkan lagu-lagu kesukaanku melalui i-podku. Sembari aku berlari-lari kecil mengelilingi alun-alun. Sesekali aku mengawasi adikku yang sedang duduk di pinggir lapangan. Baru sebentar saja dia sudah kelelahan dan ingin beristirahat.
Benar-benar ramai pagi ini. Aku tak bisa leluasa menguasai arena lari yang biasanya tak seramai ini. Banyak sekali yang berjogging ria. Sedang asyik berjogging sambil mendengarkan lagu-lagu favorit, tiba-tiba segerombolan anak dari belakang menabrakku, membuatku terjatuh dan yang paling parah, i-podku juga ikutan jatuh ke paving.
“Aduh!” Teriakku. Aku jatuh terduduk dan lututku terasa sakit sekali. Untung saja aku memakai celana panjang.
“Maaf-maaf Mbak nggak sengaja. Maaf ya Mbak.” Seorang cowok kira-kira seumuran adikku  mencoba membantuku bangun. Begitu juga dengan teman-temannya. Aku di kerubuti oleh segerombolan abg. Hufft...sangat menyebalkan dan memalukan. Dasar abg!
Aku diam saja, aku hanya mengaduh kesakitan. Aku berusaha bangun sendiri. Anak itu mengulurkan tangannya untuk membantuku. Anak itu kelihatan sangat bersalah.
“Sudah, tak apa. Biarkan aku bangun sendiri.” Aku tak mau tanganku disentuh anak itu. “Sok perhatian” Batinku. Aku sengaja menunjukkan kalau aku sangat kesakitan karena ulahnya. Biarkan saja mereka-terutama anak itu- merasa bersalah.
 Aku terpincang-pincang menemui adikku di pinggir lapangan. Anak-anak itu mengawasi dari belakang. Mereka mengikutiku. Muka mereka terlihat khawatir.
Chika adikku yang sedang asyik dengan handphonenya menghampiriku dan membantuku berjalan ke pinggir.
“Kakak kenapa Kak? Jatuh ya?” Kata Chika.
“Tuh ditabrak segerombolan abg.” Jawabku dengan kesal. Tiba-tiba aku teringat i-podku yang terjatuh. Aku lupa mengambilnya.
“Haduh, i-podku! Tadi ikut jatuh. Aku lupa belum ambil.” Aku panik. Kenapa aku bisa seceroboh ini. Aku bangun ingin mencari i-podku, namun Chika menahannya. Dia bilang, dia yang akan mencarinya. Kemudian segerombolan anak yang menabrakku tadi mendatangiku.
“Chika? Jadi ini kakakmu?” Kata anak yang menabrakku tadi.
“Dika? Jadi kamu yang nabrak kakakku tadi?” wajah Chika tiba-tiba cerah sekali. Bahkan lebih cerah dari sinar matahari pagi ini. Hmm...aku mengerti sekarang. Hanya sekilas saja aku bisa melihat bahwa adikku menyukai anak itu. Cinta monyet.  Jadi teringat tentang diriku. Aku juga mempunyai cinta monyet dulu. Ah, sudahlah lupakan.
“Iya, maaf ya Chik. Aku nggak sengaja tadi. Dan...ini i-pod kakakmu terjatuh. Sedikit tergores sih. Tapi nggak papa kok.” Dia menyerahkan i-pod itu kepada adikku. Huh, aku diam saja Aku tau adikku sedang bahagia karena bertemu dengan anak yang disukainya. Hah, biarkan aku sendiri dengan rasa sakit di lututku.
“ Dika, aku mencarimu dari tadi. Ayo buruan pulang!” Seseorang datang menghampiri Dika. Ah, sepertinya aku kenal orang itu. Sepertinya aku sering melihatnya di kampus. Kurasa dia satu universitas denganku. Tapi aku tak mengenalnya jadi aku tak perlu repot-repot menyapanya. Aku yakin dia pun tak mengenalku.
“Maaf Mas.Aku tadi nabrak kakaknya Chika sampai jatuh. Jadi aku ngrasa bertanggung jawab aja. Ada apa mencariku? O iya...kenalkan ini temanku Chika. Dan itu kakaknya...Hmm...siapa namanya?” melihat Chika untuk meminta jawaban. Dika menjelaskan kepada kakaknya (Oh...rupanya dia kakaknya...) apa yang terjadi.
“Mita.” Jawab Chika. Hufft, tak perlu berlebihan sampai begitu kan. Seketika Dika dan kakaknya melihatku. Dan...aku benci terlihat oleh mereka. Alesannya adalah, aku sadar aku jelek dan mereka keren, ganteng. Aku berpikiran kalau orang seperti mereka melihatku, mereka akan menertawakanku.
Aku terpaksa harus tersenyum pada mereka. Berusaha bersikap ramah dan sewajarnya. Tapi tetap saja aku tidak suka melihat mereka, makhluk keren.
“Aku sudah nggak papa kok. Dan makasih sudah menyelamatkan i-podku. Aku dan adikku akan segera pulang.” Sebelum, Devra, kakaknya Dika itu mengatakan sesuatu padaku, aku harus segera pergi dari tempat itu. Aku berdiri dan mengajak adikku untuk pulang. Hmm...tapI Chika sepertinya masih betah saja.
“Tunggu! Bukankah, kita satu kampus? Aku sering melihatmu. Mita kan? Iya, aku sering melihatmu. Maafkan adikku yang ceroboh ya.” Kata Devra ramah.
“ Oh, iya aku juga sering melihatmu. Iya, Cuma begini saja. Tak perlu dibesar-besarkan. Maaf, kami harus segera pulang.”Aku benci harus mengakui kalau  Devra memang keren dan baik. Aku benci cowok keren. Ah, pasti setelah ini mereka akan menertawakanku. Ya. Pasti akan begitu.
Aku dan Chika pulang naik angkot. Aku jatuh cukup keras tadi. Hingga lututku sangat sakit jika untuk berjalan.

***
Tak kusangka setelah kejadian waktu itu, aku jadi lebih sering bertemu dengan Devra di kampus. Dan anehnya, aku berbicara dengannya di kampus. Bukan aku yang memulai pembicaraan. Bahkan aku menghindari pertemuan dengannya. Memang aku selalu menghindari pertemuan dengan makhluk keren di kampus karena aku tidak suka bertemu dengan mereka.
“Lututmu kelihatannya masih belum sembuh.” Kata Devra tiba-tiba. Aku sedang membaca di perpustakaan. Devra muncul secara tak terduga. Seperti sinetron saja. Dan aku menganggap semua ini menggelikan. Tapi, aku harus tetap ramah,dan sebenarnya aku tak suka bersikap ramah dengannya.
“Kau mengagetkanku saja. Sedikit sakit. Tapi sudah tak apa. Tumben di perpustakaan?” Sedikit sinis kedengarannya, tapi aku sudah berusaha seramah mungkin.
“Hmm...Siapa bilang tumben? Aku sering ke perpustakaan. Dan aku juga sering melihatmu. Tapi kau saja yang tak melihatku.” Katanya santai. Ah, sepertinya dia sedang melihatku saat mengatakannya. Aku tak berani melihatnya. Jika benar dia sedang melihatku pastilah nanti jika aku menoleh, pandangan kami akan bertemu. Dan aku tak suka itu. Lebih baik aku terus menatap buku yang ku baca.
“ O iya?”Sedikit tak percaya dengan ucapannya. Masa sih dia sering ke perpustakaan??
***
Tanpa kusadari setiap hari aku berbicara dengannya. Meskipun hanya beberapa kalimat saja. Tapi, entah apapun itu selalu saja aku bertemu dengannya. Tentu saja bukan aku yang mulai.
“Mit, kata bu Petra kelasmu sudah sampai bab 5 kan? Boleh aku pinjem catatannya?” Kata Devra.
“ Ya, boleh. Ini. “ Kuserahkan buku catatanku padanya.
“Yaudah. Aku pergi dulu ya. Makasih. Akan segera aku kembalikan. Makasih Mita yang manis.”
Hah?Apa? Beraninya sekarang dia bilang aku manis.  Mau merayuku ya?Dasar semua cowok memang begitu, sukanya merayu dan menggombal. Aku bukannya senang dibilang manis. Aku malah tak suka, dia cuma ingin menghiburku. Dan aku tak percaya, aku tak mempan dengan rayuan dan pujian.
***
“Kak,yuk  ke alun-alun. Sudah beberapa minggu kan kita nggak ke sana.” Chika merengek membujukku agar menemaniku ke alun alun.
“ Ya, kan tau sendiri. Kakiku masih sedikit sakit kalau lari.”
“ Ya, tapi kan di sana masih bisa duduk-duduk dan lihat-lihat saja di pinggir lapangan.”
“Nggak ah. Emangnya kamu? Kakak tau kamu ke sana mau ketemu Dika kan? Kalau kakak  ke sana nggak mau ada niat lain selain olah raga.”
“Ah, enggak. Apa-apaan menuduhku seperti itu? Hufft...ya sudah kalo nggak mau. Nggak perlu kayak gitu kan?” jawab Chika gugup. Dia salting. Kelihatan sekali bahwa apa yang aku katakan benar.
“halah, ngaku saja kamu. Hahaha...dasar. Masih kecil nggak boleh pacaran lho.”
“Siapa yang pacaran? Eh...iya. Kak Devra ketemu aku kemarin, trus nitipin buku. Bukunya udah aku taruh di atas mejamu. Dan dia kirim salam buatmu”
“oh...ya? Aku belum liat bukunya. Salam? Waalaikumsalam.”
“Eh Kak. Kayaknya kak Devra suka deh ma Kakak.”
“Heh! Jangan ngawur kamu anak kecil.”
“Bener kali. Kalau nggak, ngapain dia kirim salam ke kakak segala?”
“Salam itu tak berarti apa-apa. Sudah-sudah kamu anak kecil. Lagian mana mungkin orang sekeren dia suka sama kakak yang jelek ini? Ada-ada saja kamu.”
“Kok gitu? Coba deh kakak ngaca. Kakak tuh meskipun nggak tinggi tapi manis dan imut. Dan yang paling penting, kakak nggak boseni kalau dilihat lihat. Kakak saja yang selalu menganggap diri kakak jelek.” Kata Chika sok menasehati. Memang benar sih, aku jarang sekali ngaca. Sebenarnya aku tidak begitu suka ngaca. Aku takut melihat diriku yang jauh sekali dari krtieria cewek ideal.
“Eh, anak kecil. Siapa yang ngajari kamu kayak gitu? Sudah jangan mengajariku.”
“Sebenarnya itu kata kak Devra sih...” Chika melirikku ketika mengatakannya, mungkin ingin mengintip apa reaksiku.
“Hmm...apa?” aku sedikit kaget, dan apa benar seorang Devra mengatakan itu tentang aku?
“Iya, itu kata kak Devra. Makanya aku yakin sekali kalau kak Devra suka sama kakak.”
“Hah...aku tak mempan rayuan tau.” Aku beranjak dari si cerewet Chika. Hum..kurasa dia sengaja mengatakannya untuk membuatku GR. Dasar anak kecil. Nggak mempan aku dengan kata-kata seperti itu. Aku tau itu bohong.

***
Kulihat teduhnya hatimu dalam kerasnya wajahmu
Kulihat sinar kehangatan dalam dinginnya kata-katamu
Kulihat kecantikan dalam dirimu
Kecantikan dari dalam yang secara otomatis memancar
Dan aku pun silau dengan kuatnya sinarmu.
Mita...
Kamu cantik kalau tersenyum
Cobalah kau tersenyum...
Makasih catatannya...
Devra

Hah??? Apa-apaan ini? Kutemukan sepucuk surat kecil didalam buku catatanku. Semakin berani saja dia. Mau coba-coba merayuku? Sekali lagi tak akan mempan. Dan aku tak akan percaya. Namun, rupanya pertahananku sedikit melemah. Aku sedikit merasa senang dikatakan cantik. Hanya sedikit saja. Ah..apa benar aku cantik? Masa sih? Aku berjalan ke kamar mandi, aku ingin ngaca dan melihat diriku sendiri. Aku memandangi diriku. Benarkah aku cantik? Kemudian aku mencoba tersenyum. Hmm...lumayan. Ya. Cantik. Aku memang sebenarnya nggak jelek-jelek amat. Tapi aku tetap tidak akan luluh dengan rayuan gombal lelaki. Apalagi seperti Devra. Tidak.

***
“Sepertinya langit hari ini cerah sekali ya.” Devra datang tiba-tiba menghampiriku di perpustakaan.
“Kau tak lihat? Mendung sekali di luar.” Aku masih tak berani melihat mukanya. Apalagi setelah aku menemukan surat penuh kata-kata menjijikkan itu. Aku nggak boleh salah tingkah dan harus bersikap sewajarnya.
“ Enggak, Justru hari ini adalah hari yang sangat cerah. Akhirnya aku melihatmu tersenyum pagi ini. Dan senyumanmu sudah cukup menggantikan sinar matahari yang muram hari ini.”
“Bicara apa kau? Tidak, Aku tidak tersenyum. “
“Kau tersenyum. Aku melihatmu tersenyum, dan manis sekali.”
“Eh! Mau coba merayuku? Apa yang kau inginkan? Jangan coba-coba menggombal denganku, karena rayuanmu itu tak akan mempan padaku.”
“Enggak. Aku tidak ingin menggombal,aku hanya ingin bertanya. Kamu nggak capek apa?”
“Iya, aku capek ndengerin kamu yang nggak penting itu.”
“Bukan. Kamu nggak capek lari-lari dipikiranku terus?” Devra langsung kabur setelah mengatakan itu padaku. Yang paling menyebalkan, dia tersenyum-senyum.
“Hah? Ap...apa?”Antara gugup,kaget dan aneh saja. Dasar gombal. Dikira aku akan luluh apa dengan rayuan-rayuan itu? Maksudnya apa coba merayuku seperti itu.

***
Setiap hari aku Devra selalu saja menggangguku dan mengatakan hal yang aneh-aneh. Semakin lama dia semakin sering saja merayuku dan memujiku. Aku sebenarnya sudah bosan dengan pujian-pujiannya. Tetapi,perlahan-lahan pertahananku melemah. Aku mulai merasa senang ketika Devra memujiku.Aku mulai terbiasa dengan rayuan-rayuan gombalnya. Tingkahnya semakin aneh dan membuatku tertawa dan tersenyum. Kebencianku pada cowok ganteng mulai berkurang.
Meskipun  kata si cerewet Chika, Devra menyukaiku. Aku tetap tak percaya. Meskipun aku sudah mulai melunak, aku tetap tak akan semudah itu ditaklukkan dengan kata-kata yang indah. Dan sekarang aku tau, Devra tak benar-benar menyukaiku. Dia hanya membuatku sebagai bahan taruhan. Lihat saja sekarang, dia sedang berkumpul dengan teman-temannya. Teman yang sama-sama keren dan cool. Entah mengapa mereka memilih aku menjadi sasaran taruhan mereka.        Setidaknya aku tidak percaya jika Devra menyukaiku. Sehingga aksinya belum berhasil. Aku melihatnya dibalik jendela kelas, dia bersama  teman-temannya. Aku tau semua yang mereka bicarakan, termasuk tentang aku. Aku tidak kaget. Meskipun sedikit sakit karena dijadikan bahan taruhan. Tapi aku tidak marah. Aku biarkan Devra terus merayuku. Dan aku tak akan pernah merasa GR. Aku biarkan dia mempermainkanku, karena aku tak akan terpengaruh. Meskipun aku tau dia mempermainkanku, aku tak mengatakan padanya atau marah padanya. Biarkan saja dia dengan permainannya dan aku akan mengikuti permainannya. Bagaimanapun aku tak mudah kau taklukkan dengan kata gombal dan rayuan seperti itu.
Akan kubiarkan dia capek karena ke teguhan sikapku, atau akan kubiarkan dia sampai benar-benar jatuh cinta denganku? Ah. Biar saja dia. Aku tak akan semudah itu kau luluhkan.

***
“ Mit, Ayah kamu astronot ya?”
“ Enggak. Emang napa?”
“Aku melihat banyak bintang di matamu.”
“Hahahaha....”
“Kenapa kau ketawa? Aku berkata benar. Matamu indah.”
“Hmm...kamu pasti suka makan krupuk.”
“ Kok tau?”
“Kriuk kriuk sih...garing banget. Hahaha”
“Ha?????”Antara kaget dan shock.

Ambarawa ,Rabu, 06 Juli 2011,00:59:46






Komentar

Postingan Populer